Tidak lama lagi kita akan mengakhiri puasa Ramadhan dan memasuki bulan Syawal, insya Allah. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kesempatan puasa Ramadhan kepada kita agar kita meraih kemuliaan di sisi-Nya. Sebagai manusia biasa kita tidak terlepas dari kekurangan-kekurangan, bahkan kesalahan-kesalahan dalam melaksanakan puasa ini. Karena itulah, begitu kita memasuki malam Idul Fitri, kita diwajibkan oleh syara’ untuk mengeluarkan zakat fitrah satu sha’ (sekitar 2,5 kg) makanan pokok sebagai pembersih dari perbuatan sia-sia dan perbuatan buruk dan untuk memberi makanan kepada orang-orang miskin. waktunya berlaku hingga dimulainya shalat Id. Setelah itu zakat fitrah tidak sah dan menjadi sedekah biasa.
Yang menjadi pokok pembahasan di sini, kita masyarakat Indonesia secara umum biasa mengeluakan zakat fitrah dengan beras. Tidak ada yang salah dalam hal ini karena memang mayoritas madzhab kaum muslimin di Indonesia menganut madzhab Syafi’i. Dan madzhab Syafi’i sebagaimana madzhab Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa zakat fitrah harus memakai makanan pokok suatu negeri atau jenis-jenis yang telah ditetapkan dalam nash, misalnya gandum dan kurma.
Adapun madzhab Hanafi berpendapat bahwa zakat fitrah boleh dikeluarkan dengan nilai barang atau uang. Khalifah Umar bin Abdil Aziz, Hasan al-Bashri, Sufyan ats-Tsauri, dan Imam al-Bukhari juga berpendapat demikian. Ibnu Rusyd sebagaimana yang dikutip Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari (3/100) mengatakan, “Imam Bukhari sependapat dengan madzhab Hanafiyah dalam masalah ini, padahal ia banyak berselisih dengan mereka. Namun, dalillah yang menuntunnya demikian.”
Setelah mengkaji mazhab ulama tentang masalah ini dan melihat realita perkembangan masyarakat, saya cenderung agar kebiasaan zakat fitrah dengan beras diganti dengan uang karena hal ini insya Allah akan lebih bermanfaat dan lebih praktis, disamping memiliki landasan dalil yang kuat. Syaikh Yusuf Qardhawi telah menjelaskan dengan penjelasan yang memuaskan tentang zakat fitrah dengan uang dalam karya besarnya Fiqh az-Zakah. Maka barangsiapa yang ingin memahaminya lebih komprehensif, saya persilakan merujuk kitab tersebut.
Berikut ini dalil-dalil naqli dan aqli zakat fitrah dengan uang.
1. Allah swt berfirman, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” (at-Taubah: 3) Uang termasuk harta. Adapun tidak diberlakukannya zakat dengan uang pada zaman nabi karena untuk memudahkan mereka. Pada zaman itu umat Islam belum memiliki uang tersendiri. Uang dinar berasal dari Romawi dan uang dirham berasal dari Persia.
2. Sahabat Mu’adz ketika di Yaman berkata, “Bawalah baju Khamis atau lainnya kepadaku. Aku mengambilnya dari kalian sebagai ganti zakat, karena hal itu lebih mudah bagi kalian dan lebih bermanfaat bagi kaum Muhajirin di Madinah.” (HR. Baihaqi dan Imam Bukhari)
Dalam riwayat lain disebuatkan, “…sebagai ganti dari jagung dan gandum.” (HR. Baihaqi)
Ketika itu masyarakat Yaman terkenal dengan produksi pakaian, sementara mayoritas penduduk Madinah petani. Maka membayar zakat dengan pakaian sebagai ganti dari jagung dan gandum lebih mudah bagi mereka dan lebih bermanfaat bagi para sahabat di Madinah. Perlu diketahui bahwa sahabat Muadz telah disaksikan oleh Nabi saw. sebagai orang yang paling tahu tentang halal dan haram.
3. Imam Ahmad dan Baihaqi meriwayatkan bahwa Nabi saw. marah ketika melihat unta tua yang dimasukkan dalam harta zakat. Beliau bersabda, “Celakalah orang yang mengambil unta ini!” Orang yang mengambilnya lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku akan menggantinya dengan dua unta dari unta-unta kecil zakat.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, ya.” Hadits ini memiliki sanad yang dapat dijadikan hujjah. Mengganti satu unta dengan dua unta adalah mempertimbangkan nilai dan ini sama dengan membayar zakat dengan uang.
4. Muawiyah berkata, “Sesungguhnya aku melihat dua mud Samra` (gandum Syam) setara dengan satu sha’ kurma.” (HR. Muslim, Nasa`i, Baihaqi dan lainnya)
Di sini sahabat Muawiyah ra. membolehkan satu Sha’ kurma diganti dengan dua mud gandum Syam. Ini menunjukkan bolehnya membayar zakat dengan nilai atau uang.
5. Zakat bukanlah jenis ibadah yang murni seperti shalat. Di dalamnya terdapat tujuan-tujuan yang bisa dipahami oleh akal manusia. Dengan kata lain, ada sisi-sisi kemanusiaannya yang bisa dijadikan acuan untuk istidlal aqli. Jika pada zaman nabi tidak ada zakat uang, itu karena kondisinya menuntut seperti itu. Kondisinya berbeda setelah itu. Kita bisa memahami Imam Abu Hanifah yang membolehkan zakat fitrah dengan uang karena beliau hidup di negeri Irak yang corak kehidupannya sudah metropolitan, disamping beliau sendiri juga seorang pedagang. Sesungguhnya kondisilah yang menuntut demikian. Beliau melihat zakat dengan uang lebih mudah, lebih praktis, dan lebih bermanfaat untuk fakir miskin.
6. Masyarakat yang tidak memiliki banyak beras akan membeli beras untuk membayar zakat. Setelah membayarkannya, panitia mengumpulkannya dan membutuhkan banyak tenaga untuk mendistribusikannya. Setelah didistribusikan kepada penerima zakat, penerima zakat menjualnya lagi kepada toko yang tentunya dengan harga di bawah standar. Bahkan, ada juga panitia yang menjual beras-beras itu secara langsung. Maka kerepotan-kerepotan ini akan hilang jika pembayaran zakat menggunakan uang. Membawanya ke panitia mudah, lalu panitia menyerahkannya kepada penerima zakat juga mudah, tanpa banyak tenaga dan biaya. Manfaatnya bagi penerima zakat juga lebih besar dan lebih leluasa, terlebih pada zaman sekarang yang secara umum tidak kekurangan masalah makanan.
Berdasarkan alasan-alasan itu, maka penulis lebih cenderung agar difatwakan anjuran menggunakan uang bagi yang merasa mudah dengan itu. Tetapi, bagi yang mudah menggunakan beras tetap diperbolehkan. Adapun mana yang lebih bermanfaat, itu melihat keadaan. Dan untuk zaman sekarang ini, kelihatannya lebih bermanfaat dengan uang. Pendapat yang tengah-tengah ini telah dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan didukung oleh Imam Syaukani. Wallahu a’lam.
Penulis : M. Abidun
Sumber : http://abidun.com/zakat-fitrah-dengan-uang-lebih-bermanfaat-dan-praktis/
Bismillah.
Maaf kalau berbeda dengan anda dalam hal ini :
1. Dasar hukum yang tertera dalam literatur Islam mengenai zakat fitrah dengan selain makanan pokok sudah nash dan masalah ijitihad dalam masalah ini lemah, karena terlalu dibuat-buat
2.Argumen termudah karena jaman nabi sudah ada uang, berupa dinar atau dirham mengapa tidak dilaksanakan sedari dulu?
3. Azaz manfaat tidak boleh menyelisihi dalil maupun ushul fikh, Kemanfaatan zakat kurang bukan karena zakat Fitrah dalam berupa beras tapi justru kurangnya zakat-zakat lain(yang nilainya jauh lebih besar, seperti zakat harta) ditunaikan di kalangan kita
4. Zakat fitrah bukan seperti zakat lainnya (harta, panen dll), jadi jangan disamakan juga pembagiannya. 8 golongan yang disebut itu bukan untuk zakat fitrah, artinya zakat fitrah khusus fakir dan miskin.
5. Dan pendapat no 4 ini justru telah dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan didukung oleh Imam Syaukani/silahkan tanya ustadz 🙂 atau lihat literaturnya. Dan ini cocok untuk saat sekarang misal seorang amil yang kaya raya,punya mobil mewah mendapat jatah beras 10kg setiap tahun :), Wallahu a’lam.